Minggu, 19 Juni 2011

Studi Hukum Kritis


Studi Hukum Kritis

Studi hukum kritis (critical legal studies, selanjutnya disingkat CLS) merupakan gerakan berpikir yang melawan arus utama (mainstream) dalam hukum. Arus utama yang dimaksud di sini adalah arus hukum liberal yang mengutamakan corak berpikir positivistis sebagaimana diajarkan di banyak fakultas hukum, termasuk di Indonesia. Para penstudi hukum kritis banyak dipengaruhi oleh pendekatan-pendekatan sosiologis dalam melihat hukum. Itulah sebabnya dalam kuliah sosiologi hukum, topik tentang studi hukum kritis ini dijadikan pula sebagai salah satu pokok bahasan.
Ada 3 tradisi pemikiran CLS: Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat. Di AS, CLS lahir sekitar 1977 dalam pertemuan di Madison (Wisconsin). Penggagasnya adalah para akademisi pejuang hak-hak sipil, aktivis antiperang Vietnam (era 1960 s.d.1970-an), ilmuwan yang tertarik pada kritik Marxis atas struktur sosial, dan praktisi hukum di bidang advokasi publik. Mereka sepakat hukum sering dipakai untuk melegitimasi kepentingan kelas tertentu (elite).
Gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari tokoh Roberto Unger dengan teori “Masyarakat Pasca-Liberal”-nya. Menurutnya, telah terjadi pergeseran prinsip bernegara, yakni dari prinsip liberal klasik (abad ke-19) menuju ke prinsip bernegara pasca-liberal (korporasi) (abad ke-20). Penyebab pergeseran ini adalah kekecewaan terhadap pemikiran kaum kanan dan kiri. Dalam negara pasca-liberal, hukum memainkan peran berbeda karena: (a) jumlah peraturan (khususnya law-government/administrative law) sementara praktisi makin banyak; hal ini menyebabkan makin tidak mudah bagi rakyat awam untuk memahami hukum, sekaligus membuat hukum makin elitis karena akses ke dalam hukum menuntut bantuan jasa para praktisi profesional; (b) dalam pasca-liberal negara justru makin intervensionis (akibatnya: hukum pun makin berpihak kepada mereka yang memiliki akses tersebut); (c) hakim menerapkan “standar terbuka” dalam memberi makna, yaitu dengan pendekatan purposif. Jadi, lembaga peradilan mulai menyerupai lembaga administratif dan/atau lembaga politik lainnya.

Penganut CLS kerap menyebutkan diri mereka sebagai kaum Crits. Ada sejumlah ciri dari pemikiran ini: (a) hukum mereka pandang sebagai produk politik, sehingga aturan hukum tidak lebih adalah aturan politik; (b) tidak ada the rule of law itu, yang ada adalah the political rules; (3) politik terkait dengan kekuasaan, sehingga aturan hukum  adalah aturan dari siapa yang berkuasa (the rule of the rulers).
CLS dengan demikian menentang dua tradisi yang sangat melekat pada positivisme hukum, yaitu tentang konsep rule of law dan legal reasoning. Konsep pertama memberi jaminan bagi kebebasan individual dan kesamaan kedudukan di hadapan hukum. Konsep the rule of law ini dalam keluarga sistem civil law kerap disebut dengan konsep negara hukum (rechtsstaat). Selanjutnya mereka juga menentang konsep penalaran hukum (legal reasoning). Dalam kaca mata mereka, tidak ada penalaran hukum itu, yang ada adalah penalaran moral dan politik.

Jargon-jargon tradisi hukum liberal (positivisme hukum) yang menyatakan semua orang sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law) adalah tipuan belaka. Tidak mungkin ada “equality” karena selalu saja ada hirarki kekuasaan dalam masyarakat (majikan-buruh; hakim-terdakwa, orang dewasa-anak-anak, kulit putih-berwarna, dll.). Hukum pun tidak dapat melepaskan diri dari ketidaksamaan ini, sekalipun secara formal, kaum positivisme hukum terkadang secara keras menyangkalnya. Sebagai contoh, tentang hak. Menurut CLS, wacana “hak” oleh kaum liberal hanya menguntungkan kelas tertentu. Negara selalu ingin agar pertentangan hak diselesaikan oleh negara, padahal masyarakat sendiri sebenarnya mampu menyelesaikannya dengan caranya sendiri. Kaum CLS juga mengritik pendidikan hukum yang menurut mereka selama ini tidak lebih hanya menjadi ajang ideologi (demi kepentingan pemerintah dan pengusaha). Pendidikan hukum seharusnya, di mata para Crits adalah pendidikan yang "membebaskan" para mahasiswa untuk berargumentasi, dengan terlebih dulu memahami aspek sosiologis-politis dan etis pihak-pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum. Jika menurut teori liberal tidak ada kontradiksi antara kepentingan sosial dan individu (sebab negara selalu melindungi kebebasan individu, maka para Crits memandang sebaliknya. Mereka yakin ada kontradiksi fundamental antara kepentingan sosial dan individu itu. Juga mereka berpendapat, tidak ada hak fundamental dan universal, semua serba relatif dan kultural.
Pikiran-pikiran CLS sering dikecam balik, yakni sebagai pengkritik yang mengajukan kritik sekadar untuk kritik. Dengan kata lain mereka dituduh anti-kemapanan, senang membongkar-bongkar tatanan tanpa tahu bagaimana menatanya kembali. Pengritik CLS seperti Owen Fiss menyatakan: "CLS selalu ingin membuka topeng hukum, tetapi tidak bermaksud menjadikan hukum tambah efektif. Tujuan kritik CLS adalah kritik itu sendiri (nihilisme). Padahal, kritik tanpa visi alternatif hanya menuju “kematian hukum”. Atas kritikan ini para Crits menjawab: "Kritik itu justru perlu demi membuka jalan mengubah (transformasi) tradisi hukum. Nilai tambah CLS terletak pada pertanyaannya yang radikal terhadap sistem aturan hukum yang selama ini diterima secara alamiah, netral, dan objektif. Hukum saat ini sudah kehilangan klaimnya untuk menjamin peradaban dan obat prosedural bagi dunia nyata yang penuh konflik."

Dalam perkembangannya kemudian pengemuka CLS mengembangkan isu-isu yang lebih spesifik, seperti soal ketidakseimbangan gender dan diskriminasi rasial. Hal-hal seperti ini sudah dijelaskan dalam perkuliahan dengan contoh film.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar