Minggu, 19 Juni 2011

Naming, Blaming, Claiming


Naming, Blaming, Claiming

Dalam topik tentang hukum sebagai pengendali sosial, pernah disinggung tentang Hoefijzer Model (model tapal kuda) ala Schuyt untuk menyelesaikan suatu konflik. Dalam rangka penyelesaian konflik ini, ada rangkaian langkah-langkah menarik, yang kerap dibicarakan dalam sosiologi hukum. Proses ini adalah naming, blaming, claming. Sumber bacaan untuk ini dapat dilihat dalam tulisan William L. Felstiner, Richard L. Abel, dan Austin Sarat, "The Emergence and Transformation of Dispute" yang dimuat dalam Law and Society Review, vol. 15 no. 3-4 (1980-81).

Naming (experience) – tahap tertama
Pada tahap ini pihak-pihak yang bertikai atau mereka yang diserahi tugas menyelesaikan konflik akan menetapkan peta persoalan, khususnya memastikan bahwa telah terjadi kesalahan/kerugian. Dalam hukum acara pidana, kita mengenal tahap ini sebagai penyelidikan, yang biasanya berada dalam kewenangan Kepolisian. Dalam sosiologi, tahap naming ini bukannya tanpa referensi karena apa yang benar-salah atas perilaku itu didasarkan pada pengalaman (experience). Pengalamanlah yang mengajarkan pada kita tentang nilai-nilai yang benar-salah, baik-buruk, dsb. Latar belakang pengalaman yang berbeda akan berbuah pada hasil naming yang berbeda. Di sini akan diperoleh data/informasi tentang duduk persoalan (posisi kasusnya), siapa-siapa saja yang terlibat sebagai pihak, dan apa deskripsi hak dan kewajiban masing-masing.

Blaming (reaction) – tahap kedua
Di sini pihak-pihak itu bereaksi menetapkan siapa yang biasanya (sesuai  pengalaman) seharusnya bertanggung jawab atas kesalahan tadi. Dalam hukum acara pidana, blaming biasanya terjadi dalam tahap penyidikan (penetapan siapa tersangka). Pada tahap ini akan diperoleh data/informasi tentang siapa yang telah melanggar kewajibannya, dan siapa yang dirugikan atas pelanggaran itu, termasuk apa kontribusi masing-masing atas kesalahan dan kerugian tadi.

Claming (understanding and responsibility) – tahap ketiga
Tahap ini adalah tahap untuk menentukan cara dan bentuk pertanggungjawaban yang diminta. Cara inilah yang pernah dibahas dalam topik pengendalian sosial. Teori Schuyt yang disinggung di atas sebenarnya mempersoalkan tentang claming. Dalam praktik, cara meminta pertanggungjawaban dan bentuk pertanggungjawaban yang diminta tidaklah tunggal. Pihak-pihak selalu mencari cara dan bentuk yang paling menguntungkan dirinya masing-masing. Pilihan hukum dan pilihan forum dilakukan dengan cara seperti orang berbelanja, sehingga disebut juga dengan istilah forum shopping. Dalam sosiologi hukum dapat ditunjukkan betapa masyarakat memiliki forum-forum sendiri untuk menyelesaikan konflik di antara mereka. Pengadilan jelas bukan satu-satunya pilihan itu.



Contoh kasus naming, blaming, claming (dari video yang diputarkan saat kelas Sosiologi Hukum):
Kasus Pedofil yang terjadi di lingkungan gereja Katolik, kasus pelecehan seksual yang menimpa salah satu korbannya (Anna). Pihak Anna dan keluarganya yang pergi ke Gereja katolik di Vatikan, tidak ditanggapi oleh pihak Gereja, bahkan pemerintah terkesan ikut tutup mata dalam kasus ini.

Naming :
·         Kasus Pedofil yang dilakukan oleh Pastur gereja Katolik terhadal anak-anak dibawah umur.

Blaming :
·         Korban sendiri : karena tidak pernah melaporkan kasus ini ke kepolisian.
·         Pastur : Pastur yang seharusnya menjadi contoh di dalam masyarakat, tidak menjalankan tugasnya, sebagaimana harusnya dan malah melakukan tindakan kriminal.
·         System Gereja yang menetapkan umur bagi seseorang untuk menjadi pastur, terlalu muda sehingga seringkali keputusan yang dibuat para calon pastur terlalu terburu-buru.
·         Pemerintah : karena terkesan melindungi pihak Gereja dengan keengganan menangani kasus ini.

Claming :
·         Seharusmya sejak awal para pelaku melaporkan kasus pedofil ini ke kepolisian setempat di tempat terjadinya.
·         Harusnya sistem perekrutan di dalam Gereja diperbaiki  dengan merevisi umur perekrutan agar tidak terlalu muda dan tidak seharusnya gereja menutup-nutupi dan terkesan melindungi para pelaku.
·         Pemerintah seharusnya sebagai pemegang kekuasaan, bisa menegakkan keadilan bagi para korban yang telah dilecehkan, bukan justru malah melindungi pihak Gereja, hanya karena takut akan pandangan masyarakat jika menentang agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar