Minggu, 19 Juni 2011

Studi Hukum Kritis


Studi Hukum Kritis

Studi hukum kritis (critical legal studies, selanjutnya disingkat CLS) merupakan gerakan berpikir yang melawan arus utama (mainstream) dalam hukum. Arus utama yang dimaksud di sini adalah arus hukum liberal yang mengutamakan corak berpikir positivistis sebagaimana diajarkan di banyak fakultas hukum, termasuk di Indonesia. Para penstudi hukum kritis banyak dipengaruhi oleh pendekatan-pendekatan sosiologis dalam melihat hukum. Itulah sebabnya dalam kuliah sosiologi hukum, topik tentang studi hukum kritis ini dijadikan pula sebagai salah satu pokok bahasan.
Ada 3 tradisi pemikiran CLS: Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat. Di AS, CLS lahir sekitar 1977 dalam pertemuan di Madison (Wisconsin). Penggagasnya adalah para akademisi pejuang hak-hak sipil, aktivis antiperang Vietnam (era 1960 s.d.1970-an), ilmuwan yang tertarik pada kritik Marxis atas struktur sosial, dan praktisi hukum di bidang advokasi publik. Mereka sepakat hukum sering dipakai untuk melegitimasi kepentingan kelas tertentu (elite).
Gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari tokoh Roberto Unger dengan teori “Masyarakat Pasca-Liberal”-nya. Menurutnya, telah terjadi pergeseran prinsip bernegara, yakni dari prinsip liberal klasik (abad ke-19) menuju ke prinsip bernegara pasca-liberal (korporasi) (abad ke-20). Penyebab pergeseran ini adalah kekecewaan terhadap pemikiran kaum kanan dan kiri. Dalam negara pasca-liberal, hukum memainkan peran berbeda karena: (a) jumlah peraturan (khususnya law-government/administrative law) sementara praktisi makin banyak; hal ini menyebabkan makin tidak mudah bagi rakyat awam untuk memahami hukum, sekaligus membuat hukum makin elitis karena akses ke dalam hukum menuntut bantuan jasa para praktisi profesional; (b) dalam pasca-liberal negara justru makin intervensionis (akibatnya: hukum pun makin berpihak kepada mereka yang memiliki akses tersebut); (c) hakim menerapkan “standar terbuka” dalam memberi makna, yaitu dengan pendekatan purposif. Jadi, lembaga peradilan mulai menyerupai lembaga administratif dan/atau lembaga politik lainnya.

Penganut CLS kerap menyebutkan diri mereka sebagai kaum Crits. Ada sejumlah ciri dari pemikiran ini: (a) hukum mereka pandang sebagai produk politik, sehingga aturan hukum tidak lebih adalah aturan politik; (b) tidak ada the rule of law itu, yang ada adalah the political rules; (3) politik terkait dengan kekuasaan, sehingga aturan hukum  adalah aturan dari siapa yang berkuasa (the rule of the rulers).
CLS dengan demikian menentang dua tradisi yang sangat melekat pada positivisme hukum, yaitu tentang konsep rule of law dan legal reasoning. Konsep pertama memberi jaminan bagi kebebasan individual dan kesamaan kedudukan di hadapan hukum. Konsep the rule of law ini dalam keluarga sistem civil law kerap disebut dengan konsep negara hukum (rechtsstaat). Selanjutnya mereka juga menentang konsep penalaran hukum (legal reasoning). Dalam kaca mata mereka, tidak ada penalaran hukum itu, yang ada adalah penalaran moral dan politik.

Jargon-jargon tradisi hukum liberal (positivisme hukum) yang menyatakan semua orang sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law) adalah tipuan belaka. Tidak mungkin ada “equality” karena selalu saja ada hirarki kekuasaan dalam masyarakat (majikan-buruh; hakim-terdakwa, orang dewasa-anak-anak, kulit putih-berwarna, dll.). Hukum pun tidak dapat melepaskan diri dari ketidaksamaan ini, sekalipun secara formal, kaum positivisme hukum terkadang secara keras menyangkalnya. Sebagai contoh, tentang hak. Menurut CLS, wacana “hak” oleh kaum liberal hanya menguntungkan kelas tertentu. Negara selalu ingin agar pertentangan hak diselesaikan oleh negara, padahal masyarakat sendiri sebenarnya mampu menyelesaikannya dengan caranya sendiri. Kaum CLS juga mengritik pendidikan hukum yang menurut mereka selama ini tidak lebih hanya menjadi ajang ideologi (demi kepentingan pemerintah dan pengusaha). Pendidikan hukum seharusnya, di mata para Crits adalah pendidikan yang "membebaskan" para mahasiswa untuk berargumentasi, dengan terlebih dulu memahami aspek sosiologis-politis dan etis pihak-pihak yang terlibat dalam suatu hubungan hukum. Jika menurut teori liberal tidak ada kontradiksi antara kepentingan sosial dan individu (sebab negara selalu melindungi kebebasan individu, maka para Crits memandang sebaliknya. Mereka yakin ada kontradiksi fundamental antara kepentingan sosial dan individu itu. Juga mereka berpendapat, tidak ada hak fundamental dan universal, semua serba relatif dan kultural.
Pikiran-pikiran CLS sering dikecam balik, yakni sebagai pengkritik yang mengajukan kritik sekadar untuk kritik. Dengan kata lain mereka dituduh anti-kemapanan, senang membongkar-bongkar tatanan tanpa tahu bagaimana menatanya kembali. Pengritik CLS seperti Owen Fiss menyatakan: "CLS selalu ingin membuka topeng hukum, tetapi tidak bermaksud menjadikan hukum tambah efektif. Tujuan kritik CLS adalah kritik itu sendiri (nihilisme). Padahal, kritik tanpa visi alternatif hanya menuju “kematian hukum”. Atas kritikan ini para Crits menjawab: "Kritik itu justru perlu demi membuka jalan mengubah (transformasi) tradisi hukum. Nilai tambah CLS terletak pada pertanyaannya yang radikal terhadap sistem aturan hukum yang selama ini diterima secara alamiah, netral, dan objektif. Hukum saat ini sudah kehilangan klaimnya untuk menjamin peradaban dan obat prosedural bagi dunia nyata yang penuh konflik."

Dalam perkembangannya kemudian pengemuka CLS mengembangkan isu-isu yang lebih spesifik, seperti soal ketidakseimbangan gender dan diskriminasi rasial. Hal-hal seperti ini sudah dijelaskan dalam perkuliahan dengan contoh film.

Naming, Blaming, Claiming


Naming, Blaming, Claiming

Dalam topik tentang hukum sebagai pengendali sosial, pernah disinggung tentang Hoefijzer Model (model tapal kuda) ala Schuyt untuk menyelesaikan suatu konflik. Dalam rangka penyelesaian konflik ini, ada rangkaian langkah-langkah menarik, yang kerap dibicarakan dalam sosiologi hukum. Proses ini adalah naming, blaming, claming. Sumber bacaan untuk ini dapat dilihat dalam tulisan William L. Felstiner, Richard L. Abel, dan Austin Sarat, "The Emergence and Transformation of Dispute" yang dimuat dalam Law and Society Review, vol. 15 no. 3-4 (1980-81).

Naming (experience) – tahap tertama
Pada tahap ini pihak-pihak yang bertikai atau mereka yang diserahi tugas menyelesaikan konflik akan menetapkan peta persoalan, khususnya memastikan bahwa telah terjadi kesalahan/kerugian. Dalam hukum acara pidana, kita mengenal tahap ini sebagai penyelidikan, yang biasanya berada dalam kewenangan Kepolisian. Dalam sosiologi, tahap naming ini bukannya tanpa referensi karena apa yang benar-salah atas perilaku itu didasarkan pada pengalaman (experience). Pengalamanlah yang mengajarkan pada kita tentang nilai-nilai yang benar-salah, baik-buruk, dsb. Latar belakang pengalaman yang berbeda akan berbuah pada hasil naming yang berbeda. Di sini akan diperoleh data/informasi tentang duduk persoalan (posisi kasusnya), siapa-siapa saja yang terlibat sebagai pihak, dan apa deskripsi hak dan kewajiban masing-masing.

Blaming (reaction) – tahap kedua
Di sini pihak-pihak itu bereaksi menetapkan siapa yang biasanya (sesuai  pengalaman) seharusnya bertanggung jawab atas kesalahan tadi. Dalam hukum acara pidana, blaming biasanya terjadi dalam tahap penyidikan (penetapan siapa tersangka). Pada tahap ini akan diperoleh data/informasi tentang siapa yang telah melanggar kewajibannya, dan siapa yang dirugikan atas pelanggaran itu, termasuk apa kontribusi masing-masing atas kesalahan dan kerugian tadi.

Claming (understanding and responsibility) – tahap ketiga
Tahap ini adalah tahap untuk menentukan cara dan bentuk pertanggungjawaban yang diminta. Cara inilah yang pernah dibahas dalam topik pengendalian sosial. Teori Schuyt yang disinggung di atas sebenarnya mempersoalkan tentang claming. Dalam praktik, cara meminta pertanggungjawaban dan bentuk pertanggungjawaban yang diminta tidaklah tunggal. Pihak-pihak selalu mencari cara dan bentuk yang paling menguntungkan dirinya masing-masing. Pilihan hukum dan pilihan forum dilakukan dengan cara seperti orang berbelanja, sehingga disebut juga dengan istilah forum shopping. Dalam sosiologi hukum dapat ditunjukkan betapa masyarakat memiliki forum-forum sendiri untuk menyelesaikan konflik di antara mereka. Pengadilan jelas bukan satu-satunya pilihan itu.



Contoh kasus naming, blaming, claming (dari video yang diputarkan saat kelas Sosiologi Hukum):
Kasus Pedofil yang terjadi di lingkungan gereja Katolik, kasus pelecehan seksual yang menimpa salah satu korbannya (Anna). Pihak Anna dan keluarganya yang pergi ke Gereja katolik di Vatikan, tidak ditanggapi oleh pihak Gereja, bahkan pemerintah terkesan ikut tutup mata dalam kasus ini.

Naming :
·         Kasus Pedofil yang dilakukan oleh Pastur gereja Katolik terhadal anak-anak dibawah umur.

Blaming :
·         Korban sendiri : karena tidak pernah melaporkan kasus ini ke kepolisian.
·         Pastur : Pastur yang seharusnya menjadi contoh di dalam masyarakat, tidak menjalankan tugasnya, sebagaimana harusnya dan malah melakukan tindakan kriminal.
·         System Gereja yang menetapkan umur bagi seseorang untuk menjadi pastur, terlalu muda sehingga seringkali keputusan yang dibuat para calon pastur terlalu terburu-buru.
·         Pemerintah : karena terkesan melindungi pihak Gereja dengan keengganan menangani kasus ini.

Claming :
·         Seharusmya sejak awal para pelaku melaporkan kasus pedofil ini ke kepolisian setempat di tempat terjadinya.
·         Harusnya sistem perekrutan di dalam Gereja diperbaiki  dengan merevisi umur perekrutan agar tidak terlalu muda dan tidak seharusnya gereja menutup-nutupi dan terkesan melindungi para pelaku.
·         Pemerintah seharusnya sebagai pemegang kekuasaan, bisa menegakkan keadilan bagi para korban yang telah dilecehkan, bukan justru malah melindungi pihak Gereja, hanya karena takut akan pandangan masyarakat jika menentang agama.

Tiga Tipe Hukum dari Nonet & Selznick


Tiga Tipe Hukum dari Nonet & Selznick

Tulisan di bawah ini diangkat dari dua buku. Pertama, karya dari Philippe Nonet dan Philip Selznick berjudul "Law and Society in Transition: toward Responsive Law" dan buku kedua berjudul "Politik Hukum di Indonesia" karya Moh. Mahfud M.D.

Sejarah Philippe Nonet dan Philip Selznick:
·         Philippe Nonet lahir dan besar di Belgia. Ia mendapat pendidikan hukum dan meraih doktor di bidang ini pada tahun 1961. Setelah itu ia belajar dan mengajar di bagian sosiologi UC Berkeley sebelum bergabung di Boalt Faculty pada 1977. Nonet adalah Charge de Cours pada the Universite Catholique de Louvain dari tahun 1966 sampai dengan 1970, seorang visiting professor di Universitas Bremen pada 1981.
·         Philip Selznick adalah professor emeritus of law and society pada UC Berkeley. Ia meraih gelar doktor tahun 1947 dari Universitas Columbia, tempat ia menimbah ilmu dari Robert K. Merton. Selznick dikenal sebagai penggagas teori organisasi, sosiologi hukum, dan administrasi publik.
Philippe Nonet dan Philip Selznick adalah dua nama yang dikenal luas sebagai pencetus Teori Pembangunan Hukum (Development Theory of Law), suatu teori yang diangkat dari kajian hukum menurut perspektif ilmu politik. Dua nama ini, Nonet & Selznick kerap diperbincangkan karena mereka memperkenalkan tiga tipe hukum dalam teori pembangunan hukumnya, yaitu:
1.      Hukum Represif:
Tipe hukum represif dapat dilihat dari adaptasi yang pasif dan oportunistis dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial-politik. Kata "adaptasi" menunjukkan hukum berada pada kondisi subordinat (di bawah pengaruh) sistem sosial dan politik. Bahkan, kekuatan orang-orang yang menjadi penguasa politik dapat menembus semua pintu masuk ke dalam "sistem" hukum. Hukum dikendalikan oleh figur tokoh politik yang paling berkuasa di negara itu. Kriminalisasi adalah bentuk yang paling disukai oleh para penguasa politik dalam mengontrol warga masyarakat agar selalu menaati kehendak pemerintah. Di sinilah wajah represif itu muncul. Hukum tampil dengan wajah menakutkan dan tanpa kompromi. Sebaliknya akses warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam hukum sangatlah sempit. Keberadaan dan keberlakuan hukum tidak perlu harus memperhatikan kepentingan warga yang diperintah. Pada tipe ini hukum dan politik merupakan satu kesatuan di dalam sistem pemerintahan.
2.      Hukum Otonom:
Jika pada tipe hukum represif, FIGUR sang tokoh politik sangat berperan menentukan wajah hukum, maka pada tipe hukum otonom, wajah "orang" ini berganti menjadi "sistem negara hukum" (the rule of law; rechsstaat). Konsep the rule of law (lazim disingkat: RoL) ini merupakan reaksi negara atas gagasan-gagasan keterbukaan yang kerap datang dari masyarakat luas. Atas nama hukum, desakan-desakan demikian dapat diredam. Di sisi lain, dalam tipe negara hukum otonom, tertib hukum juga digunakan untuk menjinakkan perilaku represif negara. Jadi, tipe hukum otonom ini ingin menjadi "penengah" bagi masyarakat dan penguasa agar kedua kekuatan itu tidak saling berbenturan secara destruktif. Untuk itulah RoL mengedepankan penyelesaian masalah melalui prosedur-prosedur tertentu. Keadilan pun pada akhirnya cukup dilihat sebagai keadilan prosedural (sesuatu dianggap adil sepanjang sesuai dengan prosedur). Namun, berbeda dengan tipe represif, pada tipe hukum otonom ini hukum sudah terpisah dari politik.
3.      Hukum Responsif:
Sekalipun dapat secara kasatmata terlihat bahwa Nonet & Selznick ingin menempatkan tipe hukum responsif sebagai tahapan evolusi yang tertinggi (dibanding hukum represif dan otonom), keduanya tidak ingin menyatakan bahwa tahap inilah yang paling tepat untuk semua sistem hukum. Artinya, mereka melihat masing-masing negara dapat menyesuaikan sendiri kondisi sistem hukum negara mereka dengan perkembangan yang ada. Ada kalanya masyarakat membutuhkan tipe hukum represif beberapa waktu, sebelum beralih ke tipe otonom dan responsif. Pada tipe hukum responsif ini, kompetensi menjadi ukuran bagi warga masyarakat untuk memiliki akses berpartisipasi di dalam segala sistem kemasyarakatan. Di sini urusan prosedur bisa dinomorduakan, karena yang lebih penting adalah sisi substansinya. Pada tipe hukum inilah dikenal istilah keadilan substantif itu.


Dua tipe hukum yang pertama, yakni hukum represif dan otonom pada hakikatnya berada dalam kondisi tatkala suatu negara sedang memasuki tahap pembentukan tatanan politiknya. Jika pada tahap itu sumber daya elit pemerintahannya masih sangat lemah, maka corak hukumnya akan menuju ke tipe represif. Pada tahap ini seseorang atau sekelompok kecil orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan akan memaksimalkan kekuatannya untuk memaksakan pengaruhnya terhadap masyarakat luas. Apabila pengaruh elit kekuasaan sudah mulai sedikit melemah berhadapan dengan masyarakat, maka tahapan ini sudah mengarah ke tipe hukum otonom. Tatanan politik pada tipe hukum otonom ini masih mudah berubah, dan jika komitmen masyarakatnya tidak cukup kuat, akan mudah tergelincir kembali ke tipe hukum represif.

Seorang ahli hukum Indonesia, Moh. Mahfud M.D. pernah melakukan penelitian mengenai pengaruh konfigurasi politik di Indonesia terhadap karakter produk hukumnya. Beliau adalah guru besar dari Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta) dan saat ini menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam bukunya "Politik Hukum di Indonesia" (aslinya merupakan disertasi yang bersangkutan di Universitas Gadjah Mada), Mahfud ingin melihat apakah sistem politik tertentu memiliki dampak pada peraturan perundang-undangan yang lahir pada masa itu. Untuk itu, teori pembangunan hukum dari Nonet & Selznick ini dipakai sebagai kerangka acuannya. Konfigurasi politik yang dimaksud oleh Mahfud terbagi menjadi dua, yakni demokratis dan non-demokratis. Istilah terakhir ini disamakannya dengan otoriter. Mahfud melihat Indonesia pernah memasuki kedua model politik ini, yakni pada masa era sebelum Orde Lama (periode demokrasi liberal), era Orde Lama (periode demokrasi terpimpin), dan era Orde Baru. Karakter produk hukum yang diteliti oleh Mahfud meliputi peraturan perundang-undangan di bidang pemilihan umum, pemerintahan daerah, dan agraria. Ia melihat bahwa pada konfigurasi politik yang demokratis, produk hukumnya cenderung reponsif (=populistik); sebaliknya pada konfigurasi politik yang non-demokratis atau otoriter, kecenderungan produk hukumnya adalah konservatif, ortodoks atau elitis. Kesimpulan Mahfud adalah:
1.      Pada periode 1945-1959 (demokrasi liberal), konfigurasi politik Indonesia adalah demokratis, dan kecenderungan karakter semua produk hukum (pemilu, pemda, agraria) adalah responsif.
2.      Pada periode 1959-1966 (demokrasi terpimpin), konfigurasi poltiknya adalah otoriter, dan kecenderungan karakter produk hukumnya di bidang pemda adalah ortodoks/konservatif/elitis, tetapi di bidang agraria menunjukkan tipe responsif dengan alasan-alasan tertentu; sedangkan untuk bidang pemilu tidak terdapat produk tersebut pada masa itu.
3.      Pada periode 1966-1998 (Orde Baru) konfigurasi politiknya adalah otoriter, dan kecenderungan semua produk hukumnya adalah ortodoks/konservatif/elitis. Alasan-alasan tertentu yang dimaksud oleh Mahfud terjadi pada bidang agraria di era demokrasi terpimpin adalah terkait dengan keberadaan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang ini, menurut Mahfud bukan peraturan yang positivis-instrumentalis dan memperlihatkan karakter responsifnya dengan merombak seluruh sistem yang dianut oleh Agrarische Wet 1870, menghapus domeinverklaring, menghilangkan feodalisme dan segala hak konvesinya, menghilangkan dualisme huum sehingga tercipat unifiksi hukum, serta penegasan tentang melekatnya fungsi sosial atas hak atas tanah. Posisi  unik dari UUPA ini disebabkan oleh sedikitnya empat hal:
a.       UUPA berasal dari rancangan zaman demokrasi liberal yang pengundangannya tertunda.
b.      UUPA membalik dasar-dasar kolonialisme yang sudah pasti ditentang oleh semua pemimpin Indonesia baik yang demokratis maupun otoriter.
c.       Materi UUPA tidak menyangkut distribusi kekuasaan sehingga pemberlakuannya tidak akan mengganggu sebuah rezim otoriter sekalipun.
d.      UUPA tidak hanya memuat aspek politik (hukum administrasi negara) tetapi juga memuat masalah-masalah privat (hukum perdata).

Jika demikian halnya kesimpulan Mahfud, kita dapat menyatakan bahwa UUPA sebagai contoh produk hukum yang berkarakter responsif di Indonesia tidak muncul karena adanya konfigurasi politik (secara makro) di Indonesia yang sudah demokratis. Dengan perkataan lain, kita juga dapat mengatakan bahwa dalam kondisi (alasan-alasan) tertentu, produk hukum responsif pun dapat saja muncul sekalipun di tengah konfigurasi politik yang otoriter sekalipun. Sampai pada titik ini Mahfud ingin mengatakan bahwa DEMOKRATISASI merupakan kata kunci untuk membawa negara kita menuju ke tipe hukum responsif itu.

Hukum sebagai sarana pengendalian sosial


Hukum sebagai sarana pengendalian sosial

Ini adalah kuliah kelima. Kuliah ini akan membahas topik seputar tatanan sosial dan pengendalian sosial. Pada saat kita berbicara tentang TATANAN SOSIAL, ada beberapa konsep penting yang perlu didiskusikan yaitu tentang: struktur sosial, pranata sosial, dan masyarakat.

TATANAN SOSIAL
Struktur Sosial: 
Perbedaan Sosiologi Makro & Mikro:
1.      Sosiologi makro mempelajari STRUKTUR.
·         Menurut Ralph Linton STRUKTUR SOSIAL memiliki dua konsep penting:
a.      Status (a collection of rights & duties)
Contoh: hak & kewajiban dosen adalah ….
b.      Peranan (the dynamic aspect of a status)
Contoh: untuk melaksanakan hak dan kewajiban itu dosen mengajar dengan cara …
2.       Sosiologi mikro mempelajari SITUASI.

Struktur Sosial:
Menurut Linton, STATUS SOSIAL dapat dibedakan ke dalam:
1.      Status yang diperoleh (ascribed status): tertutup.
contoh: anak/dewasa; pria/wanita; kasta tinggi/kasta rendah.
2.      Status yang diraih (achieved status): terbuka.
contoh: tingkat pendidikan, kekayaaan.
Menurut Robert K. Merton, seseorang tidak hanya memiliki satu STATUS saja, sehingga berakibat ada banyak PERANAN pula. Dengan demikian ada
seperangakat status (status-set) dan seperangkat peranan (role-set/multiple roles).

Pranata Sosial (institusi sosial):
Sekumpulan status & peranan yang berjalan stabil dan karena mampu memenuhi kebutuhannya anggota-anggotanya disebut sebagai PRANATA SOSIAL. Jadi PRANATA terdiri dari seperangkat aturan yang terlembagakan (institutionalized), dengan ciri-ciri:
1.      diterima oleh sejumlah besar anggota sistem sosial itu.
2.      diinternalisasikan (internalized).
3.      diwajibkan (dengan sanksi atas pelanggarannya).

Masyarakat:
Dulu dibicarakan bahwa MASYARAKAT harus terdiri dari:
1.      Manusia-manusia.
2.      Hidup bersama dalam waktu relatif lama.
3.      Beranggap sebagai satu kesatuan sosial (=organisasi sosial).

Namun, akan ada kesulitan karena definisi di atas belum memadai. Misalnya dapat ditanyakan tentang: apa maksud hidup bersama ini?; apa yang dimaksud relatif lama?; apa itu kesatuan sosial?
Orang-orang yang berkerumuman (crowd) tidak dapat disebut masyarakat.
Bagaimana dengan: penonton bola? anak-anak kost? grup band? kelompok arisan? asosiasi dokter? keluarga?

Menurut:
Marion Levy (1965):
a.       Masyarakat harus mampu bertahan melebihi masa hidup seorang individu.
b.      Rekrutmen seluruh/sebagian anggotanya melalui reproduksi.
c.       Kesetiaan pada suatu “sistem tindakan utama bersama”.
d.      Adanya sistem tindakan utama yang bersifat swasembada.
Talcott Parsons (1968):
a.       Bersifat swasembada.
b.      Melebihi masa hidup individu normal.
c.       Merekrut anggota secara reproduksi biologis.
d.      Melakukan sosialisasi terhadap generasi berikutnya.
Edward Shils setuju dengan kriteria di atas dengan menyebut:
a.       Self-sufficiency.
b.      Self-regulation
c.       Self-generation

PENGENDALIAN SOSIAL
Emile Durkheim pernah menyebut tentang FAKTA SOSIAL, yaitu kekuatan paksaan dari luar individu. Fakta sosial ini mengendalikan perilaku (social control) individu-individu. FAKTA SOSIAL yang paling kuat daya paksanya adalah hukum.

Peter L. Berger & Brigitte Berger (1981) mengartikan pengendalian sosial sebagai:
Various means used by a society to bring recalcitrant members back into line
(aneka cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang membangkang).

Bandingkan dengan pandangan Roucek berikut ini. Joseph S. Roucek (1965) menyatakan pengendalian sosial:
a collective term for those processes, planned or unplanned, by which individuals are taught, persuaded, or compelled to conform to the usages and life-values of groups
(istilah kolektif yang mengacu pada proses terencana atau tidak terencana tatkala individu diajarkan, dibujuk, atau dipaksa menyesuaikan diri pada kebiasaan dan nilai hidup kelompok).

Definisi Pengendalian Sosial:
Berger  -> terbatas pada mereka yang membangkang (recalcitrant).
Roucek -> ditujukan pada semua proses sosialisasi.

Hukum dapat dipakai untuk sarana pengendalian sosial; ditandai dengan pemberian kewenangan bagi negara untuk melakukan paksaan fisik; mekanisme pengendalian sosial lainnya:
a.       Membayar ganti rugi/denda.
b.      Mencopot seseorang dari jabatan.
c.       Mengucilkan dari pergaulan.
d.      Mempermalukan di depan umum, dll.

Model AGIL yang diperkenalkan oleh Parsons (cybernetic model of system regulation) tampaknya sejalan dengan wacana hukum sebagai sarana pengendalian sosial ini. Lihat kembali catatan kuliah mengenai model AGIL ini.

KESIMPULAN:
Sosiologi dapat dipelajari dalam perspektif makro dan mikro. Secara makro, sosiologi mempelajari struktur (berlangsung dalam jangka panjang), sementara secara mikro sosiologi mempelajari situasi keseharian (jangka pendek). Struktur sosial terdiri dari dua konsep penting, yakni status sosial dan peranan sosial. Status mencakup perangkat hak dan kewajiban, sementara peran adalah bagaimana cara menjalankan hak-kewajiban itu. Status sosial dengan demikian menentukan peran sosial seseorang. Makin banyak status yang disandang, makin kompleks peran yang dijalankan. Status ini ada yang diperoleh dan ada yang diraih. Jika seperangkat status dan peranan sosial ini berjalan secara stabil, maka terciptalah suatu pranata sosial. Sesuatu baru dapat disebut pranata sosial apabila ada nilai-nilai yang diterima oleh anggota-anggota pendukungnya, diinternalisasi, dan diberi sanksi. Mereka yang menjadi pendukung suatu pranata sosial inilah yang disebut masyarakat.  Sesuatu baru dapat disebut masyarakat apabila terpenuhi syarat-syarat: (1) self-sufficiency, (2) self-regulation, dan (3) self-generation. Sarana PENGENDALIAN SOSIAL yang paling utama, menurut Berger, adalah hukum karena hukum sangat efektif untuk menertibkan masyarakat yang membangkang. Dalam konteks pengendalian sosial inilah negara mendapat legitimasi untuk [memonopoli] penggunaan kekerasan fisik terhadap para pembangkang itu. Namun, menurut Roucek, aspek pengendalian ini tidak hanya ditujukan terhadap mereka yang membangkang melainkan juga selama proses sosialisasi (tatkala individu menyesuaikan diri dengan pola perilaku masyarakat). Hal ini sejalan dengan pemikiran Parsons tentang fungsi integration dalam sistem sosial.


Catatan Tambahan:

Struktur Sosial
Struktur sosial adalah salah satu elemen tatanan sosial. Struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Susunannya bisa vertikal atau horizontal. Terdapat beberapa definisi tentang struktur sosial, yang dirumuskan oleh para ahli, antara lain:
· George Simmel: struktur sosial adalah kumpulan individu serta pola perilakunya.
· George C. Homans: struktur sosial merupakan hal yang memiliki hubungan erat dengan perilaku sosial dasar dalam kehidupan sehari-hari.
· William Kornblum: struktur sosial adalah susunan yang dapat terjadi karena adanya pengulangan pola perilaku undividu.
· Soerjono Soekanto: struktur sosial adalah hubungan timbal balik antara posisi-posisi dan peranan-peranan sosial.
· Erich Goode (1988): struktur sosial sebagai jaringan yang saling berhubungan, yang secara normative mengarahkan hubungan sosial yang ada di masyarakat

Status Sosial
Sehubungan dengan struktur sosial dikenal istilah status. Secara umum status dipahami sebagai urutan orang berdasarkan kekayaannya, pengaruhnya, maupun prestisenya. Akan tetapi sosiolog mengartikan status sebagai posisi di dalam kelompok atau masyarakat. Artinya letak seseorang di antara orang yang lainnya dalam suatu struktur sosial. Contoh status adalah ibu, kyai, teman, tentara, orang kulit hitam, dan lain-lain. Sehubungan dengan status ini, dibedakan antara ascribed statuses (status yang diperoleh) dan achieved statuses (status yang diraih). Di samping ascribed statuses dan achieved statuses, juga terdapat master statuses. Master statuses adalah kunci atau inti dari status yang mempunyai bobot utama dalam interaksi dan hubungan sosial seseorang dengan orang yang lainnya (Zanden, 1993).

Peranan Sosial
Selain konsep status sosial, di dalam struktur sosial terdapat juga konsep peranan sosial. Konsep peranan sosial mengacu pada pengertian tentang serangkaian hak dan tugas yang didefinisikan secara kultural. Sehingga dengan demikian perilaku individu dilihat sebagai sesuatu yang penting atau tidak penting dalam hubungannya dengan status. Secara sederhana dapat dikatakan perbedaan antara status dan peran adalah bahwa kita memiliki status dan kita memerankan peran sosial. Peranan adalah perilaku yang diharapkan sehubungan dengan status yang dimiliki. Role performance adalah perilaku aktual seseorang sehubungan dengan statusnya. Dalam kehidupan nyata sering kali terjadi gap antara apa yang seseorang seharusnya lakukan dengan apa yang seseorang lakukan. Satu status tertentu mungkin mempunyai aneka ragam peranan yang harus dimainkan. Hal inilah yang disebut dengan role set. Contohnya Anda sebagai kepala keluarga tidak hanya berperan sebagai pemimpin bagi anggota keluarga Anda, melainkan juga berperan sebagai pencari nafkah, wakil keluarga Anda dalam kegiatan-kegiatan sosial di kampung, dan lain-lain.